DALAM hidup sehari-hari, kita dihadapkan pada
berbagai tuntutan dan tekanan. Ada yang mampu menyesuaikan diri dengan
tenang dan santai; yang lain menanggapi dengan cemas, gelisah, dan
marah.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri menimbulkan ketegangan jiwa, seperti menahan beban sangat berat. Itulah stres.
Seorang
mahasiswi pasca sarjana, sebutlah namanya Lina, untuk kesekian kalinya
keluar dari ruang kerja dosen pembimbing tesisnya dengan lunglai. Sudah
lebih dari setahun ia mondar-mandir konsultasi, namun hasilnya belum
tampak, sementara beasiswa yang ia terima sudah hampir habis. Bila tidak
lulus dalam dua bulan ini, pada semester berikutnya ia harus menanggung
sendiri biaya studinya.
Padahal,
ia juga harus menghidupi diri sendiri untuk keperluan sehari-hari
karena sudah yatim-piatu sejak SMP. Sebenarnya ia sudah mulai tertekan
sejak teman sekelasnya lulus tepat waktu. Sempat memiliki indeks
prestasi tertinggi di kelas, dan menjadi nomor dua sejak semester kedua,
pada dasarnya Lina sangat bersemangat untuk menjadi yang terbaik dan
lulus cepat.
Pada
mulanya ia senang mendapatkan pembimbing dari institusi yang sudah
mapan. Namun, ternyata proses bimbingan sangat alot, dosen mengulur-ulur
waktu, dan akhirnya tidak mendapatkan umpan balik yang memadai. Ia
pernah mencoba mengonsultasikan tulisannya pada beberapa dosen lain yang
lebih terbuka, dan mereka semua menilai sebenarnya tidak banyak masalah
pada tulisannya. Ia semakin tertekan sejak karibnya sekelas hampir
lulus meski diselingi melahirkan anak. Bahkan, adik kelasnya sudah dua
orang yang hampir selesai.
Dengan
hampir habisnya beasiswa yang ia terima, dan hasil konsultasi terakhir
ia masih belum diizinkan mengambil data ke lapangan, ia merasa tidak
sanggup lagi menghadapi situasi. Terlebih-lebih dosen pembimbing kembali
melontarkan kata-kata yang menyerang pribadinya. Selama ini ia sudah
selalu mengalah demi kelancaran proses bimbingan, namun tidak
berpengaruh.
Apa itu Stres?
Richard
Bugelski dan Anthony M. Graziano (1980) menyatakan bahwa stres adalah
suatu istilah umum yang digunakan psikolog-psikolog untuk menunjukkan
ketegangan seseorang karena tidak mampu mengatasi tuntutan-tuntutan atau
tekanan-tekanan sekelilingnya.
Dalam
bahasa sehari-hari, stres adalah suatu kondisi ketegangan yang kemudian
mempengaruhi fisik, mental, perilaku seseorang. Jadi, stres melibatkan
interaksi antara individu dengan lingkungannya. Kebanyakan orang
menyebut stres untuk menunjuk pada kondisi seseorang tidak mampu
mengatasi tuntutan, keinginan, harapan, atau tekanan dari sekelilingnya
yang berakibat pada fisik, mental, maupun perilakunya.
Hubungan dengan Kepribadian
Cara
kita dalam memberikan tanggapan terhadap stres berbeda-beda. Tanggapan
tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor fisiologis saja, melainkan
juga ditentukan oleh faktor psikologis, yaitu kepribadian. Orang dengan
tipe kepribadian Tipe A akan berbeda dalam menanggapi stres dibandingkan
dengan orang yang memiliki kepribadian Tipe B.
Orang
yang memiliki kepribadian Tipe A adalah mereka yang ingin segalanya
serba cepat, tidak sabaran terhadap kemajuan suatu peristiwa, bergulat
keras untuk memikirkan dua atau tiga hal sekaligus, tidak dapat
mengatasi waktu luang, dan terobsesi oleh bilangan yang mengukur sukses
mereka dalam bentuk berapa banyak yang akan dia peroleh.
Sebaliknya,
orang yang memiliki kepribadian Tipe B adalah mereka yang sabar dan
tidak pernah merasakan urgensinya waktu, tidak merasa perlu menonjolkan
prestasi, kecuali dituntut oleh situasi, lebih mengutamakan kesenangan
dan santai, dapat santai tanpa rasa salah.Dari ciri-ciri di atas, orang
yang memiliki kepribadian Tipe A lebih mudah mengalami stres daripada
orang kepribadian Tipe B.
Dari
penelitian, kita mengetahui bahwa orang dengan kepribadian Tipe A lebih
mudah mendapatkan serangan jantung, darah tinggi, dan stroke.
Contoh
kasus di atas menunjukkan bahwa mahasiswi tersebut mengalami stres
karena tekanan yang ia terima dari dosen, tuntutan dari dirinya sendiri
untuk cepat lulus, serta tuntutan dari bos tempat ia bekerja untuk
memperlihatkan unjuk kerja yang baik. Ia juga takut kehabisan waktu
studi dan takut kehilangan pekerjaan.
Akibatnya Beragam
Menurut Cox (1978), akibat dari stres dapat dikelompokkan antara lain :
*
Akibat fisik, antara lain meningkatnya detak jantung, tekanan darah,
dan gula darah, banyak mengeluarkan keringat, mulut terasa kering, sesak
napas, demam, dan mati rasa.
* Akibat
psikologis, antara lain cemas, agresif, apatis, bosan, depresi,
kelelahan, frustrasi, merasa berdosa dan malu, cepat marah, murung,
merasa harga diri rendah, kesepian, dan mudah gugup.
*
Akibat pada perilaku, antara lain menjadi pencandu obat, makan banyak
atau kurang nafsu makan, pemabuk dan perokok, semaunya sendiri, dan
gemar mengucapkan kata-kata kotor/jorok .
* Akibat kognitif, antara lain tidak mampu membuat keputusan, sering lupa, dan sangat sensitif terhadap kritik.
* Akibat dalam pekerjaan, antara lain sering tidak masuk kerja, hubungan dengan teman kerja buruk, dan produktivitas menurun.
Mahasiswi
yang menjadi contoh kasus di atas telah mengalami beberapa akibat stres
di atas, terutama akibat psikologis, akibat kognitif, dan akibat dalam
pekerjaannya.
Kiat Mengelola
Stres
tidak dapat dihindari karena senantiasa akan muncul dalam kehidupan
kita. Mau tidak mau kita harus menghadapinya secara aktif dan menguasai
situasi khusus yang menyebabkannya.
Dalam
mengatasi stres, kita tetap memfokuskan pada kejadian-kejadian yang
menyebabkan stres (stressor) dan mencoba menghadapinya meskipun perasaan
cemas, gelisah, dan marah melingkupi kita.
Dalam
keadaan stres, kita dihadapkan kepada dua hal yang saling berkaitan,
yaitu menghadapi stres tersebut secara efektif dan mengontrol kecemasan,
kegelisahan, dan kemarahan dengan baik. Dengan demikian, kita tidak
dikuasai oleh stres, justru mengelolanya menjadi suatu yang positif.
Ada tiga cara mengelola stres dengan baik, yaitu:
*
Menghindari (avoidance). Dalam hal ini kita mencoba menghindarkan diri
dari hal-hal yang membuat kita stres. Kenalilah kegiatan-kegiatan apa
saja yang dapat menimbulkan stres pada diri kita. Dengan mengenali, kita
dapat menjauhinya sehingga terhindar dari stres tersebut. Namun, bila
terpaksa harus menghadapinya, kita lebih siap karena sudah tahu
akibatnya dan dapat mengatasinya dengan lebih santai dan bijak.
Contohnya, kita menghindari jalanan yang biasanya macet dengan mencari
jalan lain yang lancar walaupun mungkin lebih jauh.
*
Mengalihkan stressor menjadi hal positif. Kita tidak membiarkan
stressor menguasai kita, sehingga kita benar-benar menjadi stres.
Contohnya, kita tidak membiarkan rasa jemu saat menunggu seseorang atau
melakukan perjalanan jauh dengan membaca atau mendengarkan musik.
*
Mitigasi (mitigation). Kita diharapkan dapat mengelola stres dengan
efektif dengan memelihara tubuh secara baik. Cara ini dapat membantu
jiwa sekaligus raga kita dalam mengendalikan atau mengontrol stres yang
menimpa.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain :
-
Olahraga. Berolahraga teratur tidak hanya membuat tubuh semakin sehat.
Kita juga lebih enak tidur, sehingga seluruh otot dan saraf kita dapat
beristirahat dengan baik. Berolahraga sekaligus berfungsi sebagai
psychological relaxer yang mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang
membuat stres.
- Rekreasi. Dengan rekreasi
kita menjauhkan pikiran dan emosi terhadap hal-hal yang membuat stres.
Rekreasi sekaligus istirahat singkat sambil bergembira ria akan
menyebabkan pikiran dan semangat kita segar kembali.
-
Rileksasi. Rileksasi terbukti dapat mencegah akibat stres pada diri
kita dengan menurunkan denyut jantung dan tekanan darah, serta
memberikan rasa tenang. Rileksasi dapat dilakukan dengan meditasi,
latihan pernapasan dalam, tai chi, pemijatan, berdoa (zikir). Cara
paling gampang adalah bernapas dengan tenang dan teratur sambil
memikirkan hal-hal yang menyenangkan.
Upaya
mengatasi stres akan gagal jika kita mencoba mengabaikannya,
menyangkal, atau malahan lari dari stres yang dialami. Dalam kasus Lina
di atas, dengan bantuan pembimbing lain, selama ini ia telah melakukan
banyak hal untuk mengusahakan keserasian antara dirinya dengan dosen
pembimbingnya, meski belum menunjukkan hasil efektif. Langkah terakhir
yang perlu dilakukan adalah rileksasi.
M.M. Nilam Widyarini, MSi, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Guna Dharma, Jakarta